PENERAPAN TRI HITA KARANA PADA SUBAK KELAWANAN, DESA BLAHBATUH, KECAMATAN BLAHBATUH, KABUPATEN GIANYAR

  • I Gusti Ayu Wahyu Utari Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra

Abstract

Sistem irigasi di Bali ditata dengan menggunakan pola tradisional yang dikenal dengan istilah “Subakâ€. Bila dikaitkan dengan konsepsi Tri Hita Karana, subak merupakan suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius. Selain itu, dengan konsep Tri Hita Karana diharapkan agar subak di Bali berusaha menjaga keserasian dan keharmonisan. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui penerapan konsep Tri Hita Karana pada subak atau masyarakat petani di Subak Kelawanan, Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar; (2) mengetahui manfaat dari penerapan konsep Tri Hita Karana pada Subak Kelawanan, Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar; dan (3) mengetahui kendala-kendala yang ada dalam penerapan Tri Hita Karana di Subak Kelawanan, Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Penelitian ini dilakukan di Subak Kelawanan, Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan dengan metode “purposive sampling†. Jumlah petani sampel yang diambil adalah sebanyak 41 dari 70 populasi, teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling.Hasil penelitian yang diperoleh adalah penerapan konsep Tri Hita Karana dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu : (1) Parhyangan, yang ditunjukan dengan adanya Pura Subak serta tatanan upacara dalam bercocok tanam yang dilakukan baik perorangan maupun secara bersama oleh Krama Subak; (2) Pawongan, yang ditunjukan dengan adanya konsep kebersamaan seperti gotong-royong dan rapat anggota subak; dan (3) Palemahan, yang ditunjukan dengan adanya perbaikan sistem irigasi serta pembagian pola tanam. Manfaat yang diharapkan dengan menerapkan konsep Tri Hita Karana adalah mendapatkan ketenangan pikiran; meningkatnya hasil produksi; serta tanaman terhindar dari hama dan penyakit. Adapun yang menjadi kendala-kendala adalah adanya alih fungsi lahan sawah menjadi tempat pemukiman; kegiatan subak yang sudah mulai berkurang; dan pencarian dewasa ayu dalam bercocok tanam.Kata Kunci : subak, Tri Hita Karana, upacara, gotong-royong

References

Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Koentjaraningrat. 1982. Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, dalam Sosiologi Pedesaan, (ed:Sayogyo dan P. Sayogyo), Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Krisnu, Tjokorda Raka. 2001. Pura Subak Kaitanya Dengan Alih Fungsi Lahan. Paruman Sulinggih Tingkat Propinsi dan Kabupaten / Kota Se Bali.

Peraturan-daerah pemerintah-daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972.

Poespowardojo, S. 1993. Strategi Kebudayaan. Jakarta : Gramedia.

Pushpha, Anak Agung Gde. 2006. Pengaruh Kegiatan Tri Hita Karana Oleh Pekaseh Terhadap Solidaritas Petani (Studi Kasus Di Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar). Tesis. Program Pascasarjana Universitas DR. Soetomo Surabaya.

Roth, D. and Sedana, G. 2015. Reframing Tri Hita Karana: From ‘Balinese Culture’ to Politics. The Asia Pacific Journal of Anthropology, 16(2), 157 - 175

Sedana, G. 2013. Social Capital into Agribusiness Development within Subak System in Bali. Dissertation, Udayana University, Indonesia.

Sedana, G. I G.A.A.Ambarawati, and W. Windia. 2014. Strengthening Social Capital for Agricultural Development: Lessons from Guama, Bali, Indonesia. Asian Journal of Agriculture and Development. Vol.11 No.2. pp.39-50

Sirtha, I Nyoman. 2007. Subak Konsep Pertanian Religius, Perspektif Hukum Budaya dan Agama Hindu. Surabaya : Paramita.

Windia, Wayan. 2006. Transformasi Sistem Irigasi Subak Yang Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana. Denpasar : Pustaka Bali Post.

Wirawan, I Made Adi. 2011. Tri Hita Karana. Surabaya : Paramita.

Published
2017-11-04
Section
Articles